Kamis, 26 Juni 2014

Cerita Rakyat Pulau Belumbak sebagai Warisan Budaya Kabupaten Sanggau

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Cerita Rakyat Pulau Belumbak
sebagai Warisan Budaya Kabupaten Sanggau


Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Multikultural
yang Dibimbing oleh

Drs. Mastar Asran, M.Pd

Oleh:

Arby Nurul Trisnawati
(F37012033)
Kelas : 3 A Reguler A




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah  ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Cerita Rakyat Pulau Belumbak sebagai warisan budaya Kabupaten Sanggau”. Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Pendidikan Multikultural.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.


Pontianak, 25 Oktober 2013


                                                                                                                                Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hampir setiap daerah di seluruh Indonesia memiliki adat, bahasa dan kebiasaan masing-masing. Beberapa diantaranya sangat terkenal di kancah nasional maupun internasional. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Negara lain untuk  berkunjung ke Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya bermigrasi dan menetap di Indonesia.
Kebudayaan  merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan  hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar. Kebudayaan memiliki beberapa unsur-unsur, nilai-nilai kebudayaan, nilai budaya, sistem religi, sosial dan sistem iptek , suku bangsa, dan sistem budaya. Termasuk di dalamnya tentang cerita rakyat yang berasal dari Kecamatan  Meliau Kabupaten Sanggau. Cerita ini berjudul Pulau Belumbak.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng di atas, masalah yang dapat dirumuskan adalah:
1. Apa itu cerita Pulau Belumbak?
     2. Bagaimana cerita Pulau Belumbak itu?
     3. Apa pesan moral dari cerita Pulau Belumabak?
C.  Ruang Lingkup
Berdasarkan rumusan masalah diatas, pada penulisan ini penulis hanya membahas tentang cerita rakyat Pulau Belumbak dari Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.
D. Tujuan
1. Menjelaskan tentang cerita rakyat yang berasal dari Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
2. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Multikultural.
E. Manfaat
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1.  Sebagai Penulis
Sebagai bahan acuan untuk mengembangkan dan melestarikan budaya-budaya yang ada di Kabupaten Sanggau, khususnya di Kecamatan Meliau.
2.  Sebagai Pembaca
Mengetahui adat dan tradisi dari Kabupaten Sanggau.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adat Istidat dan Cerita Rakyat Pulau Belumbak
Tradisi adalah sebuah kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun dari nenek moyang didaerahnya. Tradisi dan budaya juga merupakan beberapa hal yang menjadi sumber dari akhlak dan budi pekerti. Sedangkan adat istiadat  merupakan sebuah wujud dari rasa daya cipta suatu bangsa begitu juga adat budaya yang masih tetap ada, khususnya di wilayah Kalimantan Barat sebagai sebuah wilayah yang cukup luas yang ada di Indonesia, diantara provinsi Kalimantan Barat meliputi beberapa kabupaten yang mempunyai adat istiadat yang multikultural, dan masih tetap kuat untuk dipertahankan adat istiadat masyarakatnya. Termasuk salah satu diantaranya adalah cerita rakyat Pulau Belumbak yang berasal dari Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.
Cerita rakyat di daerah Kalimantan Barat ini merupakan warisan leluhur kita. Cerita rakyat ini tidak tertulis, tetapi diceritakan dari mulut ke mulut, dari nenek ke ibu, dari ibu ke anak, dari anak ke cucu dan seterusnya secara estafet. Cerita ini bukan hanya sekedar pelipur lara dikala duka, tetapi juga mengandung nasehat-nasehat yang berguna bagi anak cucunya dalam menempuh hidup dan kehidupan.
Belumbak dalam bahasa Kalimantan Barat berarti berlomba. Bila kita menyusuri Sungai Kapuas dari Kota Pontianak menuju Sanggau maka diantara Kota Tayan dan Kota Sanggau, lebih tepatnya di Kota Meliau, kita akan melewati dua buah pulau yang berjejer ditengah Sungai Kapuas. Bentuk pulau-pulau tersebut menyerupai  dua buah kapal yang sedang berlomba. Oleh sebab itu kedua pulau tersebut dinamai oleh penduduk dengan PULAU BELUMBAK (berlomba).
Menurut cerita dari para leluhur dahulu kala yang dituturkan dari mulut kemulut, pulau-pulau tersebut asalnya dari dua buah kapal milik  dua bersaudara. Pada zaman dahulu di mana lokasi kedua pulau tersebut berada, terdapat sebuah kota yang bernama Kota Meliau. Walaupun kota tersebut tidak begitu besar, tetapi penduduknya cukup banyak.
Di bagian pinggiran kota tersebut hiduplah seorang janda miskin dengan kedua orang anak laki-lakinya. Ayah mereka telah meninggal dunia. Sehari-harinya kerja mereka hanya mnecari kayu bakar yang mereka jual kepada orang kampung demi sesuap nasi. Dari tahun ketahun mereka menjalani  kehidupan yang demikian sehingga kedua anaknya tumbuh menjadi dewasa. Ketika kedua anaknya telah menginjak dewasa, timbulah keinginan kedua anak tersebut untuk merantau ke negeri seberang. Mereka ingin mengadu nasibnya di perantauan dengan harapan nasibnya dapat berubah. Sang ibu berat sekali hatinya untuk melepaskan kepergian kedua anaknya, disamping umurnya yang semakin hari semakin tua. Tetapi keinginan kedua putranya tidak dapat dihalang-halangi. Akhirnya ibu tersebut terpaksa mengabulkan juga keberangkatan kedua anaknya yang sangat ia cintai itu.
Dua ekor anak ayam jantan yang menjadi milik kedua anak tersebut dititipkan supaya dipelihara oleh ibunya hingga kelak mereka kembali.
Pada hari keberangkatan kedua bersaudara itu, mereka hanya menumpang sebuah kapal dagang yang datang ke kota tersebut. Di kapal itu untuk sementara mereka menjadi kuli. Ibunya hanya dapat membekali mereka dengan ketupat nasi masing-masing tiga buah. Namun demikian ibu tersebut mengiringi kedua anaknya dengan doa, semoga selamat di perantauan dan berhasil mencapai apa yang mereka cita-citakan.
Hari berganti bulan ,dan bulanpun berganti tahun, entah berapa purnama telah berlalu. Sang ibu tetap menunggu dan menunggu kedatangan kedua anaknya. Usianya semakin tua, dan rambutnyapun semakin banyak yang memutih. Tenaganya semakin berkurang karena ketuaannya, dan ia pun sering kali sakit-sakitan. Namun ia tetap bekerja menurut kemampuannya demi sesuap nasi.
Di perantauan kedua kakak beradik itu berhasil. Mereka akhirnya menjadi orang yang kaya raya. Masing-masing telah memiliki kapal yang cukup besar dan bagus. Mereka memiliki para pekerja dan para pengiring. Merekapun masing-masing telah beristeri yang elok rupawan parasnya. Kecantikan para isteri mereka menurut sastera atau kisah lama diibaratkan: hidung mancung, pipi bagai pauh dilayang, rambut bak mayang terurai,, bibir bagai delima merekah, alis bagai semut beriring, betis seperti batang padi, wajah bak bulan purnama, mata tajam, air diminum nampak terbayang, senyum seperti limau seulas, ..... entah apa lagi, yang jelas cantik sekali.
Setelah beberapa lama mereka merantau, timbul hasrat kedua bersaudara itu untuk kembali ke kampung halamannya di Kalimantan Barat. Demikianlah kedua kapal kakak beradik itu berlayar menuju Kalimantan Barat. Beberapa lama mereka berlayar, sampailah mereka dipesisir Kalimantan Barat dan langsung masuk Sungai Kapuas. Setelah beberapa lama menyusuri Sungai Kapuas, akhirnya kedua kapal tersebut tiba di wilayah Sanggau dan berlabuh di tengah Sungai Kapuas.
Sang ibu yang telah tua renta itu mendengar berita dari orang sekitarnya, bahwa yang datang itu kedua anaknya. Bukan main suka citanya, karena sudah lama tidak bertemu dengan kedua anaknya yang selalu dia rindukan. Ia beringsut-ingsut naik perahu sambil membawa ubi rebus dan dua ekor ayam jantan. Ayam tersebut yang dulu ketika ditinggalkan oleh anak-anaknya masih kecil, dan kini telah menjadi ayam jantan yang besar.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, ketika ibunya sampai dikapal anaknya yang sulung, anaknya malu mengakui ibunya yang buruk dan miskin itu. Ia malu kepada isterinya yang cantik dan malu kepada bawahannya. Ketika ibunya akan memeluknya karena rindu, ia tolak orang tua itu sambil berkata: “ Hai orang tua renta, apakah kau ini orang gila? Kau bukan ibuku. Ibuku telah meninggal. Enyahlah segera engkau dari sini. Saya tidak kenal siapa engkau”.
Mendengar kata-kata anaknya, orang tua itu menyahut: “Anakku, mengapa engkau telah lupa kepada ibumu? Ini ayam jantan yang dahulu masih kecil ketika kalian berangkat”. Mendengar kata-kata ibunya itu kemarahan anaknya semakin menjadi-jadi. Ibunya ia tending dengan keras. Orang tua yang lemah itu tersungkur, kepalanya berdarah. Lama sekali orang tua itu tak sadarkan diri. Setelah ia sadar iapun pergi meninggalkan kapal itu, lalu menuju ke kapal anaknya yang seorang lagi. Ibu tua ini berharap akan mendapat sambutan yang baik dari anaknya yang bungsu ini. Tetapi di kapal anaknya yang kedua inipun ia mendapat perlakuan yang sama. Bahkan di sini matanya menjadi buta karena ditusuk dengan tongkat oleh anaknya yang kedua.
Orang tua itu menangis lalu pulang. Sedih hatinya mendapat perlakuan yang menyakitkan dari kedua anaknya yang dulu ia cintai. Tetapi kesedihan itu tiba-tiba menjadi kebencian. Kata orang arif bijaksana, bahwa batas antara cinta dan benci itu tipis sekali, lebih tipis dari selembar kertas yang paling tipis sekalipun. Cinta yang berubah menjadi benci akan berbahaya.
Di rumahnya orang tua itu membuat sebuah pedupaan. Pedupaan yang sedang berasap itu ditaruhnya di lubang lesung. Ia kemudian naik ke atas lesung itu. Sambil mengguncangkan susunya kiri dan kanan, iapun berseru: “Ya Tuhan..., kedua anak kandungku telah durhaka kepada ibunya. Apakah benar mereka itu bukan anakku? Sambil terus mengguncangkan kedua susunya, orang tua itu berseru lagi: “Kalau mereka itu benar anakku dan mereka meminum air susu ini, timpakanlah bala bencana atas mereka”. (cara orang menyumpah zaman dahulu)
Tidak berapa lama orang tua itu mengucapkan kata-katanya yang terakhir, angin mulai bertiup. Mula-mula perlahan tetapi makin lama makin kencang. Di langit awan hitam semakin menebal. Tidak lama langit menjadi gelap gulita. Angin menderu dan berdesing  disertai kilat dan petir sambung-menyambung. Bunyi guruh menggelegar seperti membelah bumi. Tiba-tiba datang angin putar, yang oleh penduduk Kalimantan Barat disebut angin puting beliung. Angin puting beliung yang dahsyat itu menerpa kapal milik kedua bersaudara yang berada di tengah sungai Kapuas. Tiang-tiang layarnya rusak dan patah. Angin puting beliung ini datang berulang-ulang, merupakan kutukan Tuhan terhadap anak yang durhaka kepada orang tuanya. Kedua kapal tersebut miring, lalu terangkat ke atas kemudian terempas ke air tanpa ampun. Akhirnya kedua kapal itu tenggelam, dan tak seorangpun selamat, termasuk  harta benda di kapal tersebut semuanya musnah. Sesaat sebelum kedua kapal itu tenggelam, kedua anak durhaka itu berteriak minta ampun kepada ibunya. Tetapi sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur, kutukan Tuhan telah berlaku atas mereka.
Setelah kedua kapal itu teggelam angin mulai mereda, langit sedikit kembali cerah, dan akhirnya cuaca kembali terang. Angin berembus perlahan-lahan, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian, muncullah di tengah Sungai Kapuas di tempat tersebut dua buah pulau yang bentuknya menyerupai kapal yang sedang berlomba. Oleh karena itu kedua pulau tersebut oleh penduduk setempat dinamakan “PULAU BELUMBAK” (berlomba). Sampai sekarang kedua pulau trersebut masih dapat kita lihat, beralokasi antara Kota Tayan dan Sanggau. Tepatnya  di Kecamatan Meliau.
Dewasa ini banyak pepohonan hutan yang tumbuh di sana, dan penghuninya adalah berjenis-jenis kera, populasinya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan tidak ada orang yang mau mengganggu kera-kera tersebut, sebab dianggap keramat.
B. Pesan Moral
Dari cerita rakyat tersebut terdapat hikmah yang dapat kita ambil untuk dijadikan pelajaran, bahwa  kita tidak boleh durhaka kepada orang tua kita. Orang yang durhaka kepada orang tuanya akan dikutuk oleh Tuhan, seperti halnya kedua bersaudara dalam cerita ini.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Cerita rakyat Pulau Belumbak ini merupakan salah satu warisan leluhur Kalimantan Barat yang berasal dari Kabupaten Sanggau, khususnya Kecamatan Meliau. Cerita ini banyak mengandung pesan-pesan moral untuk anak-anak agar tidak berbuat jahat atau durhaka kepada orang tuanya.

B.  Saran
Kita dilarang durhaka terhadap orang tua kita, karena selain durhaka dilarang oleh agama, durhaka juga dapat berakibat buruk kepada kita sendiri. Seperti halnya yang dialami dua bersaudara di cerita rakyat Pulau Belumbak ini. Cerita rakyat ini perlu diapresiasikan untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak Indonesia khususnya anak-anak Kalimantan Barat agar tidak durhaka kepada orang tuanya. Dan membentuk generasi muda Kalimantan Barat yang berakhlak mulia.



DAFTAR PUSTAKA


Syahzaman. (1994). Rangkuman Materi Muatan Lokal untuk Sekolah Dasar Kelas V  di Kalimantan Barat. Jakarta: CV. Titik Terang.

1 komentar:

  1. Mr. Pacino vs. Casino | DRMCD
    Mr. Pacino is the only one of 서산 출장샵 the 경주 출장마사지 casinos to 나주 출장샵 go head to head in the casino gambling market. It's not just about who's 안동 출장안마 going to 속초 출장마사지 win, the players

    BalasHapus